Menyicil Meraih Mimpi: Mengurus Paspor di Kantor Imigrasi

Beberapa waktu lalu saya bertekad kuat untuk segera memiliki paspor sendiri. Alasan terbesarnya adalah menyicil mewujudkan mimpi. Terlalu banyak mimpi saya yang terkait dengan luar negeri, dan saya yakin senjata pertama yang harus saya miliki adalah paspor.

Suami saya yang telah lebih dahulu mengurus paspor sudah memberikan kisi-kisi langkah yang harus saya lakukan. Bedanya, suami saya mengurusnya di kantor imigrasi Jakarta, sedangkan saya sekarang harus mengurusnya di kantor imigrasi Semarang. Meskipun prosedur operasional standart dirjen imigrasi secara aturan adalah sama. Saat itu kami belum tahu apakah pelaksanaannya bakalan sama atau tidak. Pesan suami saya adalah: siapkan mental untuk keadaan yang mungkin berbeda dengan apa yang ia dapatkan di Jakarta. Oke, pesan itulah yang sekarang juga saya pesankan ke teman-teman yang akan mengurus paspor di wilayah masing-masing. Hehe

Baca lebih lanjut

Batik Selotigo, Batiknya Salatiga

Pengakuan batik sebagai salah satu warisan dunia yang berasal dari Indonesia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009 lalu membuat batik menjadi naik daun dan go public. Setidaknya, makin banyak orang yang sekarang berbangga hati mengenakan batik untuk ke kantor, ke pesta, jalan-jalan santai, dan tak ketinggalan tentu untuk menggendong bayi (eh?).

Baca lebih lanjut

English Day Fun: di Perpus Tak Melulu Manyun

Siapa bilang di perpustakaan hanya melulu duduk dan membaca buku?

Siapa bilang di perpustakaan kita tidak bisa seru-seruan?

Pekan lalu, 26 Juni 2013, kami mencoba membuat sesuatu yang baru di Perpustakaan Kota Salatiga. Sesuatu itu kami namakan “English Day Fun”.

Peserta terdiri dari dua tim dimana satu tim terdiri dari 3 orang yang berusia antara kelas 4 SD sampai kelas 2 SLTP. Setiap tim diminta menaklukkan 5 tantangan dalam waktu yang ditentukan untuk mendapatkan sebanyak mungkin bintang. Tentu saja, karena ini adalah English Day, maka semua tantangan disampaikan dalam bahasa Inggris.

Nah, apa saja tantangannya?

Tantangan-tantangan tersebut adalah kombinasi gerakan, pengamatan, pendengaran, penglihatan, dan pengucapan yang harus dikerahkan peserta untuk menaklukkannya. Ada Library Mapping, Who am I Games, Memory Games, Yes/ No Games, Hidden Words, dan Celebration. Perpindahan dari satu games ke games lainnya pun tak lepas dari tantangan berbahasa Inggris, dimana setiap tim diminta memecahkan petunjuk yang diberikan untuk dapat mengetahui lokasi tantangan berikutnya.

Gambar

Seru bangeeeet!!!

Tanpa peserta sadari, mereka menjelajah perpustakaan untuk menggambar, mencari benda, menghubungkan kata dengan benda yang ada, dan belajar mengenal perpustakaan lebih jauh sambil berbahasa Inggris. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

***

“English Day Fun” ini adalah jawaban  atas tantangan kuliah Bunda Produktif yang diselenggarakan oleh Institut Ibu Profesional (www.ibuprofesional.com). Alhamdulillah, waktu yang sempit untuk menaklukkan tugas bersambut gayung dengan kerja sama yang baik dengan Perpustakaan Kota Salatiga.

Perpustakaan Kota Salatiga memang tempat yang keren untuk rekreasi edukasi bersama anak-anak dan remaja. Fasilitas edukasinya melimpah, lokasi strategis di tengah kota, dan landscape ruangan yang unik.

Saya pribadi, sejak pertama berkunjung ke gedung baru Perpustakaan Kota Salatiga di Jalan Adi Sucipto Salatiga ini, langsung bermunculan banyak ide yang sangat mungkin direalisasikan. “Ber-Pramuka di Perpustakaan” berupa “English Day Fun” ini adalah salah satu ide yang sudah dapat terealisasi. Ide yang lain? Masih banyaaaak!! Mau bergabung?

Knowing Safety Walking, Safety Riding, and Safety Driving (and Then, DOING!)

Tantangan siang itu adalah mencari pemateri kuliah rutin Institut Ibu Profesional Salatiga yang menguasai materi “Saferi Walking, Safety Riding, and Safety Driving”. Sebenarnya tantangan ini berlaku untuk siapa saja yang bersemangat tinggi untuk mencari tambahan ilmu terus menerus agar dalam mendidik anak maupun keluarga dapat memberikan informasi yang tepat. Kebetulan, saya paling gatal kalau ada tantangan. Prinsip saya, ketika orang lain bisa menaklukkan tantangan, kenapa saya tidak?

Jadilah, sejak malam saya membuat peta agenda keesokan harinya. Bagaimana agar perjalanan menaklukkan tantangan ini juga jadi momen pembelajaran menyenangkan bagi Hanif (27 bulan). Rencana A saya adalah:

  1. Wawancara ke petugas polisi lalu lintas yang nge-pos di depan komplek dan bertanya prosedur jika ingin meminta penyuluhan tentang tema yang menjadi tantangan.
  2. Mengikuti hasil langkah pertama di atas.

Jika rencana A saya ternyata belum memberikan hasil yang tepat, saya akan pakai plan B, yaitu mengumpulkan materi sendiri. So, lets go!

Alhamdulillah rencana A berjalan dengan  mulus. Polisi lalu lintas yang saya wawancara menyambut baik dan memberikan petunjuk langkah selanjutnya. Berasa main detektif-detektif-an ya? Bahasanya: mencari petunjuk. Hehehe. Mungkin efek kebanyakan baca buku detektif macam Lima Sekawan, STOP, Trio Detektif, dan sebangsanya sewaktu kecil dulu. So, theres no problem, it just another challenge.

Sesuai petunjuk yang saya dapat, maka langkah selanjutnya adalah membuat surat permohonan resmi dan mendatangi pejabat yang berwenang, dalam hal ini Kasatlantas Polres Salatiga.

Oiya, kenapa saya membidik polisi lalu lintas sebagai rencana A? Menurut hemat saya, polisi lalu lintas adalah pemateri yang paling tepat dan kompeten tentang “Safety Walking, Safety Riding, and Safety Driving.” Jika boleh menggunakan istilah pengayom, merekalah yang paling memahami  peraturan-peraturan aman berkendara dan gencar melakukan sosialisasi tentang itu. Dan alhamdulillah pilihan tersebut tepat karena dalam kepolisian lalu lintas, terdapat divisi khusus yang bertugas melakukan sosialisasi peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan terkait keamanan berkendara di jalan raya.

Kembali ke cerita tentang Kasatlantas. Jadilah siang itu, saya meng-homeschool-kan Hanif di kantor polisi. Mengajak Hanif beramah tamah dengan polisi di meja resepsionis, menyapa setiap polisi yang ia jumpai, mendekatkan Hanif dengan mobil highway patrol yang dihiasi sirine di atapnya, mengajak Hanif melihat bus dan truk yang ringsek karena kecelakaan, dan yang mengajarkan Hanif mengantar surat ke Kasatlantas. Ya, Haniflah yang menyerahkan surat permohonan resmi yang kami ajukan ke Kasatlantas Polres Salatiga langsung. Tentu bukan tanpa maksud. Membentuk anak yang supel bergaul dengan berbagai kalangan haruslah diasah semenjak dini. Belajar menyerahkan sesuatu (dalam hal ini surat) adalah salah satunya.

polisi 1

Alhamdulillah, Hanif sangat menikmati pengalamannya di kantor polisi. Kosa kata dan daya ceritanya semakin bertambah bi idznillah. Dan yang paling heboh adalah setiap kali Hanif melewati kantor Satlantas Polres Salatiga yang berarsitektur gedung Belanda itu. Ia akan sibuk berseru,”Ibu niken! Itu kantor polisi! Adik tadi (baca: kemarin. Hanif belum bisa membedakan tadi, kemarin, dan dulu. Hehe) ke sana!”  Jadilah, setiap kali itu pula penumpang angkot yang kami naiki tersenyum sendiri melihat deklarasi Hanif. Hohohoho.

***

Alhamdulillah, tanggal 29 Maret 2013, materi program Bunda Cekatan “Safety Walking, Safety Riding, and Safety Driving” berhasil diselenggarakan dengan heboh. Apa pasal? Ternyata ada yel-yel juga dalam kampanye keselamatan berlalu lintas. Dan yel-yel itu sama-sama menggunakan kata: Hu Ha!

Kami semua tertawa bersama saat yel-yel itu selesai diperagakan. Pemateri kelas Rabu pagi (jam 09.00) adalah langsung Kasatlantas Polres Salatiga, Ajun Komisaris Muryati yang berkenan meluangkan waktu berbagi ilmu di kuliah rutin Institut Ibu Profesional Salatiga. Pemateri kelas sore (jam 15.30) adalah Bapak Roni (mohon maaf saya lupa jabatannya. Huhuhu).

Prinsip dasar salam aman di jalan raya, terdiri dari 3 tahapan, yaitu saat sebelum berangkat, saat di jalan, dan sesampai di tujuan.  Ada istilah 4 sehat, 5 selamat dalam berlalu lintas: sehat jasmani-rohani, sehat kendaraan, sehat navigasi, sehat budaya, dan dilengkapi dengan berdoa agar menjadi 5 selamat.

Beberapa hal dasar yang perlu diketahui oleh pengguna jalan berdasarkan kuliah Institut Ibu Profesional Salatiga bersama Satlantas Polres Salatiga adalah:

Menggunakan helm itu wajib, dan memilih helm yang lulus SNI (Standart Nasional Indonesia)  itu lebih wajib.

Jika kita memperhatikan suara polwan-polwan di corong speaker lampu lalu lintas Salatiga (misal: di lampu merah pertigaan al Azhar Kauman dan di lampu merah perempatan Pasar Jetis), kita akan mendengar himbauan untuk menggunakan helm ber-SNI . Himbauan tersebut juga berlaku untuk anak-anak usia PAUD yang membonceng kendaraan roda dua.

Helm ber-SNI dicirikan dengan adanya logo SNI di belakang atau samping helm. Penggunaannyapun harus dikancingkan rapat sampai berbunyi “klik”. Penggunaan helm yang benar merupakan langkah nyata kepedulian terhadap keselamatan diri sendiri di jalan raya.

Menjaga jarak aman dan kecepatan aman itu penting.

Ngebut itu keren? Wah, nggak bangeet! Ternyata, untuk di dalam kota, kecepatan maksimal yang diijinkan adalah 40 km/ jam. Kecepatan itu harus dikurangi lagi menjadi 30 km/ jam saat kendaraan melaju di komplek perumahan. Jarak aman dengan kendaraan di depan kita saat di dalam kota saat kita menggunakan kecepatan 40 km/ jam tersebut, seharusnya adalah 22 meter. Wah, saat lalu lintas macet, sepertinya tak banyak yang menggubris aturan ini. Hohoho.

***

riding

Banyak pertanyaan dan diskusi yang kemudian mengalir dalam kuliah keren ini. Hal menarik yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat adalah aturan dasar parkir. Ternyata sama dengan prinsip dasar meletakkan alas kaki saat akan memasuki rumah, memposisikan kendraan untuk diparkir juga seharusnya dalam kondisi ready to use saat kita akan keluar. Jadi, muka kendaraan seharusnya menghadap ke jalan, bukan ke trotoar seperti yang selama ini kita lakukan.

Pertanyaan yang sempat menjadi diskusi panjang adalah tentang tilang dan berita tentang slip biru atau merah.

Banyak informasi yang beredar di dunia maya tentang anjuran memilih surat tilang berwarna biru agar bisa langsung membayar biaya tilang melalui ATM daripada memilih warna merah yang lantas mengharuskan pengendara menghadiri sidang. Benarkah informasi tersebut?

Berdasar klarifikasi yang diberikan pemateri, informasi tersebut mendekati benar. Hanya saja, saat kita memilih surat tilang warna BIRU, kita hanya bisa membayar denda lewat TELLER bank yang ditunjuk, dalam hal ini BRI. Jadi, bukan lewat ATM sebagaimana info yang beredar di dumay alias dunia maya. Kami semua manggut-manggut saat mendengarnya.

Besarnya angka denda tilang itu sendiri pun disampaikan pada kuliah tersebut berdasarkan peraturan resmi yang berlaku saat ini. Saat kita memilih surat tilang warna biru, maka nominal denda adalah flat sesuai peraturan maksimal denda. Saat kita memilih surat tilang warna merah, maka ada kemungkinan kebijakan hakim yang menyebabkan nominal denda mendapat potongan atau justru sebaliknya.  Jadi, penting sekali untuk mengetahui pengetahuan tentang peraturan nominal denda dimana keputusan tentang pilihan surat tilang kembali kepada pengendara kendaraan bermotor yang terkena tilang tersebut. Peraturan tentang nominal denda dapat dilihat di sini.

Mengutip pendapat Thomas, narasumber kelas bahasa Inggris dari Jerman yang mendampingi kuliah rutin setiap Rabu, pada prinsipnya aturan-aturan berlalu lintas di Indonesia tak jauh berbeda dengan yang ada di Jerman. Saat ditanya apakah ada perbedaan, dengan tandas ia menjawab, “ Satu-satunya perbedaan adalah peraturan di Jerman benar-benar diterapkan, sementara di Indonesia tidak.”

Jleb!! XD

April Festival Part 1: Berkreasi dengan Yoghurt

Yoghurt? Apa itu?

Beberapa dari kita mungkin melontarkan pertanyaan tersebut karena balum akrabnya kita dengan minuman unik yang satu ini. Bahkan, yang pernah mengicipnya pun tak jarang masih mengerenyitkan kening saat yoghurt disebut. Yang terbayang adalah minuman berasa asam dan aneh di lidah.

Eits, tunggu dulu! Yoghurt sebagai salah satu olahan susu tidak melulu asam kok. Mau tahu?

Institut Ibu Profesional Salatiga pada 9 April 2013 lalu mengadakan Field Trip ke home industry yoghurt yang ada di Pulutan – Salatiga. Ibu Rini selaku owner Yoghurt Memory 84 ini dengan ramah membagikan ilmunya tentang aneka kreasi yoghurt yang menepis citra asam dari yoghurt. Bahkan tak tanggung-tanggung, kami disuguh langsung berbagai hidangan berbahan yoghurt seperti risoles rogout saus yoghurt, mendoan yoghurt, tahu petis yoghurt, puding yoghurt, es krim yoghurt, dan yoghurt drink. Wowww, kami serasa berpestaaa!

Gambarl

Ternyata yoghurt itu sendiri menyimpan banyak manfaat lho. Sedikitnya ada sepuluh manfaat yoghurt yang disebutkan Ibu Rini. Fakta menariknya, yoghurt ini aman untuk penderita maag karena asam yang terbentuk pada yoghurt adalah asam laktat yang justru menyembuhkan luka pada dinding lambung penderita maag. Mbak Nikmah yang sedang sakit maag langsung “Cling!” (baca: bersiap memborong yoghurt di sesi belanja. Hihihihi)

Proses pembuatan yoghurt yang dilakukan Ibu Rini awalnya benar-benar berbasis peralatan rumah tangga. Artinya, pembuatan yoghurt bisa dilakukan oleh siapa saja di rumah. Beliau menjelaskan langkah-langkah pembuatan yoghurt dari susu murni sampai menjadi yoghurt siap saji. Tentu saja, untuk mencapai kualitas yoghurt seperti yang Ibu Rini hasilkan saat ini, percobaan demi percobaan tidak lelah dilakukan. Namun, jangan khawatir, usaha Ibu Rini saat ini sudah sanggup menyediakan bibit bakteri Lactobacillus bulgaricus untuk menjadi starter pembuatan yoghurt dari rumah.

Gambar

Fakta menarik dari yoghurt ini adalah tidak adanya hasil sampingan yang terbuang. Meskipun saat finishing yoghurt dilakukan penyaringan dari ampas susu dan kotoran-kotoran yang mungkin masuk selama pembuatan, hasil saringan tersebut masih dapat digunakan sebagai masker wajah yang bermanfaat melembutkan dan melembabkan wajah lho. Siapa mauuu?

Selepas dari ruang tamu untuk menerima penjelasan seputar yoghurt, kami beranjak ke dapur untuk mulai praktek membuat hidangan dari yoghurt. Hidangan yang kami buat adalah puding yoghurt toping whipped cream and chocolate serta es krim yoghurt. Sederhana sekali, namun kesan yang ditampilkan adalah beda. Prinsip dasarnya sama dengan pembuatan puding dan es kripm biasa. Namun jika biasanya yang digunakan adalah susu, maka takaran susu kali ini hanya setengahnya dan digantikan dengan yoghurt plain. Jadi, separuh susu dan separuh yoghurt.

Gambar

Sambil  menunggu puding siap hidang, kami tidak melewatkan menjelajah etalase toko Yoghurt Memory 84 yang penuh dengan yoghurt aneka rasa, es krim aneka rasa, dan risoles. Untung saja stok yang disediakan lebih dari cukup, rupanya tak sedikit dari kami yang langsung muncul insting wirausahanya dan langsung mengambil banyak untuk dijual kembali. Hihihihi.

Field Trip ke home industry yoghurt kali ini diselenggarakan dalam dua sesi, yaitu sesi pagi dan siang. Alhamdulillah, peserta kuliah Institut Ibu Profesional Salatiga kelas sore sangat bersemangat menyambut kesempatan belajar ini karena ada alternatif penyelenggaraan selepas jam kerja. Meskipun sesi siang diguyur hujan lebat, semangat ibu-ibu kelas sore sungguh luar biasa. Mereka tetap berangkat dan semangat! Saluuut!

Gambar

Terima kasih banyak kepada Ibu Rini dari Yoghurt Memory 84 atas sharing ilmunya, mbak Nunuk yang mengawal sesi pagi dan siang, dan seluruh peserta Field Trip Institut Ibu Profesional Salatiga. Sampai jumpa di Filed Trip berikutnya yaaa!

Wisata Bernama Perpustakaan Kota

Gedung baru perpustakaan kota Salatiga adalah salah satu tujuan wisata edukasi yang layak direkomendasikan. Berlokasi di Jalan Adi Sucipto, bersebelahan dengan kantor Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga, dan berada di jantung lokasi edukasi salatiga. Bagaimana tidak? SD, SMP, dan SMU banyak yang berada di sekitar lokasi itu. Belum lagi perkantoran dan pusat pemerintahan Salatiga. Strategis.

Gedung berlantai 3 itu dibangun dengan bentuk unik. Kayak masjid, kata Hanif. Ada halaman parkir luas dan air mancur — yang sesekali dinyalakan — sebagai tambahan daya tarik untuk anak-anak usia balita. Hanif adalah salah satu anak yang sangat terpikat dengan situs ini. Jadilah, dua hari sekali kami mengunjungi perpustakaan. Sambil pinjam buku, tentu.

Hanif belajar tentang aturan main berkunjung ke perpustakaan. Lebih memilih menaiki lantai dua lewat jalan miring untuk pengunjung berkebutuhan khusus, Hanif belajar mendaki di jalan curam tersebut. Agal terlalu curam sebenarnya. Apalagi jika diperuntukkan kepada pengunjung berkebutuhan khusus. Tapi Hanif tidak kenal istilah curam. Yang ada adalah senang. Hahaha

gedung

Masuk ke gedung utama, Hanif akan memilih loker berkunci yang masih kosong. Meski semua loker awalnya berkunci, beberapa loker sudah kehilangan kunci dan bahkan pegangannya copot. Haduh.

“Bu Niken, ini.. kosong!!”  jika tangan mungilnya sampai, maka ia akan membuka tas ransel Stawberry-nya  dan berbaik hati meletakkannya ke dalam loker. Topinya tak ketinggalan.

“Oke,” saya akan mengikuti jejaknya.

“Dikunci, Bu Niken!” Hanif mengingatkan. Alhamdulillah Hanif mulai paham bahwa adanya loker berkunci itu bukannya tanpa tujuan. Ia tak terpengaruh dengan banyaknya loker berisi barang yang dibiarkan penggunanya terbuka tanpa dikunci.

“Oke,” saya akan mengikuti instruksinya.

“Kuncinya masuk ke dompet, Bu Niken!” (sekali lagi) saya akan mengikuti petunjuknya. Hehe

Beres dari urusan loker, kami akan “check-in” di meja pengembalian buku. Jika pun tidak ada buku yang kami kembalikan, kami akan masuk ke bagian menarik berikutnya: pintu putar.

pintu (1)

Pintu putar perpustakaan yang disebut turnstile ini merupakan tahapan seru untuk Hanif. Ia akan asyik mendengar bunyi klik dan menikmati putarannya tiap kali ia melewatinya. Terkadang bahkan ia suka iseng keluar masuk pintu itu dan menikmati sensasinya. Hihihi

Tak berlama-lama dengan pintu putar, kami akan naik ke lantai dua yang di sepanjang tangganya dihiasi foto-foto Salatiga tempo doeloe. Yang jadi favoritnya Hanif adalah foto andong yang berderet-deret di depan bioskop lama Salatiga. Sebenarnya, ia fokus ke gambar andong alias kereta kudanya sih.. Tak peduli itu settingnya Salatiga jaman sekarang atau tempo doeloe. Hehehe. Tapi, saya tidak mau melewatkan kesempatan begitu saja. Momen Hanif mengagumi gambar kuda itu saya gunakan untuk menceritakan sejarah Salatiga berdasarkan keterangan foto yang ada. Sambil menyelam minum air. Hehe

Lantai dua penuh berisi buku. Saya akan membebaskan Hanif hinggap di rak manapun yang ia suka. Terkadang bahkan ia duduk manis di meja komputer tempat mencari koleksi secara cepat. What a me timeeee. Saya pun tersenyum lebar setiap kali di perpustakaan.

Gambar diolah dengan cropmom.com dan Photoshop (nikentfalimah.wordpress.com)

Setelah puas di lantai dua, Hanif pun belajar tata cara meminjam buku. Antri sudah pasti. Saat ada pengunjung yang menyerobot antrian, Hanif seringkali bilang dengan suara mungilnya,”Antli dulu!”. Memang perpustakaan ini belum dilengkapi jalur antrian yang pasti akan sangat berguna jika sedang ramai. Namun, tetap saja, karakter tertib mengantri memang harus dimiliki oleh setiap pengunjung dengan atau tanpa jalur antrian.

Adegan scanning barcode buku dan pengecapan tanggal kembali di kartu buku juga merupakan adegan menarik untuk Hanif. Biasanya, ia akan minta didudukkan di meja sebelah komputer peminjaman dan mengamati proses buku pinjamannya. Tinggi badannya belum cukup tinggi untuk berdiri mengamati. Hee.

Beres dengan aturan main peminjaman, kami akan kembali ke loker tas dan Hanif akan mencari angka yang sama dengan kunci yang ia pegang. Seru sekali melihat Hanif mengurutkan dan mencari bentuk yang sama dengan angka di kunci. Sejauh ini ia sering berhasil menemukan yang sama. Alhamdulillah.

Adegan turun lewat jalan miring dan melihat air mancur pun diputar kembali.

***

Beruntungnya kami tinggal di Salatiga. Kota kecil yang selalu memberi banyak cerita. Rupanya, perpustakaanpun sangat menyenangkan menjadi tujuan wisata. Dan semoga perlahan menumbuhkan bibit-bibit muda yang semangat bergelora mencintai membaca. Aamiin

Sampah: Amunisi Harus Ditambah

Efek dari pengenalan sungai yang saya lakukan ke Hanif beberapa bulan lalu sungguh luar biasa. Salah satunya adalah kesadaran lingkungan Hanif yang makin tinggi, terutama soal sampah. Oiya, insya Allah cerita tentang sungai akan saya tulis kemudian.

Ya, soal sampah ini membuat saya harus menambah amunisi setiap kali bepergian. Amunisi bernama kantong plastik dan tisu basah. Hehe

h1

Gambar diolah dengan cropmom.com dan Photoshop (nikentfalimah.wordpress.com)

Hanif sangat peka terhadap sampah. Matanya yang awas akan melihat kilauan sampah di setiap sudut perjalanannya. Bungkus permen yang kecil sekalipun. Dan dialog baku a la Hanif pun mulai dimainkan.

“Bu Niken, ada sampah!”

“Mana?”

“Itu! Ayo kita ambil, Bu Niken!” Terkadang saya yang harus mengambil, tapi seringkali Hanif yang riang gembira memunguti sampah yang ia lihat. Seperti menemukan harta karun. Hehe

“Kok buang sampah di jalan ya, Bu Niken?”

“Iya.. Kok buang sampah di jalan ya, Nak?”

“Jalannya kan jadi kotor ya, Bu Niken?”

“Iya, Nak.. Sampah harusnya dibuang ke mana?”

“Tempat sampah!! Mana tempat sampah, Bu Niken?”

“Ayo kita cari!” Kami pun sibuk mengedarkan pandangan di sekitar TKP untuk mencari tempat sampah. Seringkali kami beruntung karena langsung mendapatkannya. Namun jika tidak….

“Bu Niken, tidak ada tempat sampah!”

“Iya, ya.. Kita belum beruntung” Hanif akan menatap saya dengan ekspresi sedih karena tidak berhasil menemukan tempat sampah.

“Bu Niken bawa plastik?” Ia seolah mendapat ide. Padahal kalimat itu adalah hasil pembelajaran sebelumnya saat kami tidak berhasil menemukan tempat sampah dan kebetulan saya sedang membawa plastik. Jadilah saya menawarkan plastik sebagai alternatif tempat sampah untuk temuan Hanif sampai dengan tempat sampah yang sesungguhnya ditemukan. Untunglah, saat kejadian itu Hanif setuju. Nah, di lain kesempatan, ia akan langsung bertanya kepada saya setiap kali kali tidak berhasil menemukan tempat sampah.

“Ah, yaa! Coba Ibu Niken lihat tas ya,” saya memerankan adegan itu dengan baik. Sudah hafal luar kepala soalnya. Hehe. Saya membuka tas dan mengambil kantong plastik yang wajib ada di dalamnya.

“Ini diaaa!!!”

“Waaa.. ayo dimasukkan ke plastik, Bu Niken!”

“Sini.. sini..!” Hanif memasukkan sampah hasil “investigasi”nya dan tersenyum lebar khas Hanif. Lalu ia akan mengacungkan tangannya untuk meminta tissue basah untuk membersihkan tangannya.

Masya Allah.. Baarokallahu fiik, Hanif!

***

Sedikit catatan, saya seringkali malu kepada Hanif kalau bicara soal sampah ini. Saat kami berjalan-jalan, tak jarang kami mendapati orang dewasa, remaja, dan anak-anak yang dengan entengnya membuang sampah di kolong jok angkot, jalan, sungai, atau ke manapun selain tempat sampah. Dan Hanif dengan polosnya akan bertanya, “Kok buang sampah di jalan (atau sungai,atau angkot, atau manapun itu selain tempat sampah), Bu Niken?”

Jika memungkinkan, saya akan melempar pertanyaan tersebut kepada si pelaku buang sampah. Biasanya kami justru mendapati pandangan heran dari mereka, seolah-olah buang sampah di tempat sampah atau menyimpan sejenak sampah sampai ditemukan tempat sampah terdekat adalah hal yang aneh. Hallooo… ke mana saja pelajaran yang didapat di sekolah yang sudah dibayar mahal itu, saudaraku?

Yang saya lakukan kemudian adalah memungut sendiri sampah tersebut dan menyimpannya di kantong plastik amunisi saya. Bukan karena saya berbaik hati kepada si pelaku, tapi lebih karena saya sedang dalam masa mendidik Hanif. Saya malu saat mendapati masyarakat sangat tidak dapat diandalkan sebagai contoh dan pendukung perilaku yang baik, sementara mereka (mungkin) tahu bahwa anak-anak selalu merekam apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia rasakan. Termasuk soal sampah.

 

Harapan yang Tak Redup bersama Family Support Group

Everybody need somebody to love

Everybody need somebody to love

Everybody need somebody to love

Faith!

Faith!

Binar mata itu tk bisa menyembunyikan semangat yang menggelegak keluar bersama dengan lincah denting angklung, kolintang, drum, kendang, dan paduan suara hasil berlatih berhari-hari. Kata-kata dalam syair yang dipilih turut mengalirkan hawa perubahan ke seluruh pendengarnya. Kami ingin berubah. Kami mau berubah. Dan kami harus berubah.

***

Berawal dari sebuah undangan untuk ke Bogor yang saya terima dengan senang hati, sampailah saya pada lokasi yang (katanya) sedang sering dibahas di infotainment. Saya sendiri tidak tahu karena saya tidak pernah nonoton televisi. He. Tapi, katanya sih begitu.

Udara pegunungan yang jauh lebih dingin dari Salatiga pun seolah menyambut kedatangan kami – saya dan Hanif. Sekitar 2 jam (jika tidak macet) dari pusat kota Bogor, perjalanan kami menembus jalan yang bergelombang penuh lubang tak mengusik tidurnya Hanif dalam pangkuan saya.  Perjalanan kami masih disambung ojek mendaki sekitar sepuluh menit menuju lokasi.

Saat siang, matahari bersinar terik namun angin berhembus cukup kencang dan tanpa henti. Semribit, kata orang Jawa. Kondisi sekitar lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi tempo hari ini memang khas pegunungan, Gunung Salak.  Selamat datang di Unit Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido, Jawa Barat.

Gambar

Bertemu dan berbaur langsung dengan para orang tua atau kerabat para pasien penderita narkoba menyeret saya ke dalam hadirnya aura kesedihan mendalam di kalangan mereka. Apapun penyebabnya, saya merasakan kesedihan dalam setiap hadirin. Meskipun berbalut dandanan modis atapun tampilan sopan santun karena acara ini adalah acara resmi, kesedihan itu nyata. Dan terasa menggantung di udara.

Bagaimana tidak? Semua yang hadir di ruangan ini adalah keluarga dari korban pecandu narkoba ataupun mantan pecandu narkoba. Semua yang hadir pernah atau sedang diuji komitmennya sebagai orang tua atau keluarga pecandu narkoba. Sebulan sekali mereka berkumpul dan berbagi beban, pengalaman, semangat, dan ilmu satu sama lain di Auditorium Unit Terapi dan Rehabilitasi Narkoba ini sebelum dilanjutkan dengan acara melepas kangen dengan anak atau keluarganya yang sedang menjalani terapi di tempat tersebut. Itulah mengapa Family Support Group BNN dibentuk dan bergandengan tangan bersama keluarga para korban narkoba.

Gambar

Sebagaimana disampaikan oleh dr. Hari Nugroho, narasumber ahli Family Support Group yang saya hadiri kali ini, keluarga adalah benteng pertama sekaligus benteng terakhir dari penanganan narkoba sampai tuntas. Keluarga sebagai benteng pertama telah kita pahami bersama karena terkait dengan peran dan fungsi lembaga keluarga yang memang sangat penting dalam menanamkan  nilai-nilai fungsi pendidikan karakter bagi setiap anggota keluarga.

Namun, tentang keluarga sebagai benteng terakhir mungkin masih banyak yang belum memahami. Terlebih lagi bagi keluarga korban narkoba. Berhasil tidaknya program terapi dan rehabilitasi narkoba pada seorang pasien sangat tergatung dari dukungan keluarga dan komitmen keluarga. Ada kalanya, seorang pasien yang dinyatakan sudah bersih dapat kembali ke  jurang narkoba ketika keluarga tidak mempercayai komitmen si korban atau justru malah memberi label kepadanya. Pemberian pemahaman yang tepat kepada keluarga adalah salah satu misi penting yang diusung oleh Family Support Group BNN ini.

***

Kesempatan untuk meet and greet bersama berbagai komunitas pembelajar merupakan kesempatan yang sangat berharga dan selalu member tambahan sudut pandang bagi saya. Termasuk kesempatan menghadiri acara di BNN Lido ini. Tempat di mana saya semakin menyadari betapa pentingnya peran keluarga di jaman sekarang. Dan tempat di mana saya makin menyadari bahwa mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Semoga pertolongan Allah selalu menyertai langkah kita dalam mendidik anak-anak kita. Aamiin.

Gambar

Dari Bayi Hingga Berbagi

“Ibu Niken, hari ini kita mau ke mana?”

“Hari ini, kita mau tengok adik bayi, Mas Hanif! Mau ikut?”

“Mauuu!!” tanpa berpikir dua kali Hanif semangat menjawab.

Ya, hari ini kami memang merencanakan kunjungan ke rumah Mbak Sapta yang baru-baru ini dikaruniai momongan pertamanya. Tentu saja, Hanif tidak mau ketinggalan. Hanif selalu suka ikut ke manapun ibunya bepergian. Sudah sepaket dengan ibunya. Hehehe

Bertemu dengan bayi merupakan salah satu keajaiban dunia tersendiri bagi Hanif. Dengan mata terbelalak takjub, ia akan menyambut bayi yang diperlihatkan kepadanya. Dengan suaranya yang ceria, ia akan berceloteh menyapa si kecil. Dengan tangannya yang mungil, ia akan mengusap kepala, wajah, dan menggenggam tangan bayi kecil yang ia kunjungi. Sayaaang sekali kelihatannya ia kepada bayi-bayi mungil itu.

Begitupun kali ini. Perjalanan dengan angkutan kota jalur 3 jurusan Macanan membawa kami ke rumah asri keluarga besar Mbak Sapta. Bersama Mbak Nunuk dan Mbak Tri, kami disambut hangat oleh Mbak Sapta dan suaminya. Sang bayi yang diberi nama Bilqis ini pun sempat mengoek sebentar seolah ikut menyambut kedatangan kami.

Ternyata, kunjungan kami pada 26 Februari 2013 tersebut bertepatan dengan usia Bilqis 1 bulan. Wah, sebuah kebetulan yang menyenangkan! Dan entah kebetulan atau tidak, hidangan yang disajikan Mbak Sapta untuk menjamu kami sungguh luar biasa melimpah. Diawali dengan kue-kue kering, kue pancong yang masih hangat, buah rambutan – yang mungkin habis dipetik dari pohon – dan dilanjutkan dengan brunch (breakfast and lunch) yang sedaaaap. Sate ayam, sup sayuran hangat, dan tempe mendoan yang masih hangat semuanya. Tentu saja, Hanif semakin senang kali ini. Apalagi ketika mendapati macaroni kesukaannya dalam sup sayuran. Waaah.. Hanif langsung makan dengan lahap!

tilik bayi

Kunjungan yang berlanjut ke santapan ini penuh dengan bahan obrolan yang seru. Bahkan mastermind memasak sempat pindah ke sini lho! Bukan apa-apa, entah bagaimana awalnya, obrolan bergulir ke tips dan trik membuat empek-empek a la Palembang yang seenak di tempat aslinya. Jadilah Mbak Nunuk menjadi narasumber dadakan mastermind memasak. Hihihihi. Bahkan kami sempat saling mencocokkan istilah “tepung kanji” yang ternyata berbeda-beda namanya di setiap daerah. Tanpa sadar, ternyata kami berasal dari daerah yang berbeda-beda pula. Mbak Sapta asli Lampung yang lama tinggal di Ciamis, Mbak Nunuk yang asli Lamongan, dan saya maupun Mbak Tri asli Salatiga. Tak perlu menyeberang pulau, bahkan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur pun istilah untuk “tepung kanji” sudah berbeda satu sama lain. Bhinneka Tunggal Ika banget deh!

Serunya saling berkunjung! Hanif pun ikut merasakan serunya lho. Terlepas dari sesi makan yang pasti disambut antusias, Hanif pun asyik memotret di sana-sini dengan hp ibunya. Ia memang sedang senang belajar memotret.

Alhamdulillah, salah satu manfaat terbesar yang saya dapatkan dengan selalu mengajak Hanif dalam setiap kegiatan saya adalah terbentuknya watak supel dan senang bergaul dengan siapapun pada seorang Hanif.  Ke mana lagi kita besok, Nak? ^_^

Kunjungan untuk Selamanya

Gambar“Niken, kamu sudah sampai mana?” suara lincah dan renyah itu terdengar dari handphone jadul saya.

“Sebentar, Mbak.. Saya masih di angkot terakhir. Ditunggu yaa.. Sebentar lagi insya Allah sampai,” saya mencoba terdengar tenang. Padahal, sungguh, saya baru sekali ini naik turun bis dan angkot sendirian dari Bogor ke Bekasi dengan berbekal sms patokan-patokan yang ia berikan. Dagdigdug? Tentu saja!

***

Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2005, hampir 8 tahun lalu. Ya, ternyata hampir delapan tahun berlalu sejak saya mengenalnya melalui email yang diteruskan Nonadita di milis teman-teman kuliah. Email itu bertutur tentang seorang Hesti Nurmawati yang kerap dipanggil dengan Titi – saya kemudian memanggilnya Mbak Hesti atau Mbak Titi. Jika saya tidak salah ingat, email itu bertajuk “Teman untuk Titi”.

Tak muluk-muluk isi email itu. Mengajak kami yang membacanya untuk sekadar berkirim sms kepada Mbak Titi yang sangat bersemangat dan bercita-cita besar dengan segala keterbatasan fisiknya. Mbak Titi merupakan penderita radang sendi selama bertahun-tahun. Kronis.

Bayangkanlah saat sendi kakimu begitu kaku dan sulit untuk sekadar digerakkan. Apalagi berjalan dan berlari. Bayangkanlah saat jemari tanganmu membeku seperti batu hingga untuk memegang sendokpun engkau harus menahan iri pada seorang balita. Bayangkanlah saat gigimu merapuh bagai kayu dimakan rayap yang begitu tersentuh sedikit saja akan tanggal atau patah. Seperti itulah kehidupan Mbak Hesti semenjak ia menjadi korban kecelakaan saat ia SMU. Ironis.

Saya memutuskan untuk berjumpa dengan Mbak Hesti. Tak lama setelah saya sendiri menuntaskan operasi dan terapi tumor. Saya tidak tahu apakah di masa mendatang saya masih diberi kesempatan untuk bertatap muka dengannya. Kesadaran itu serta merta muncul selepas saya merasakan sakit yang mungkin tak seberapa dibanding sakitnya Mbak Hesti. Saya hanya ingin melakukan sebanyak mungkin hal baik selagi saya diberi kesempatan untuk itu.

Menjelang hari perjumpaan itu, ada saja “pesan” yang sepertinya khusus diantar untuk saya. Tentang keutamaan menengok orang sakit,tentang keutamaan mengunjungi saudara, tentang keutamaan berbagi, dan tentang keutamaan  orang sakit. Sampai saat ini saya ingat benar tentang itu semua. Rasanya saya menjadi berdebar-debar dengan sosok Mbak Hesti. Saya merasa akan bertemu dengan orang yang luar biasa.

Benarlah, saya memang menjumpai orang yang luar biasa. Luar biasa luar dalam, bahkan.

Nafas saya nyaris tersentak saat melihatnya pertama kali. Sosok bertangan kaki kurus – karena hampir tidak memungkinkan untuk aktivitas fisik – mencoba duduk bersandarkan bantal di tempat tidur. Berkaca mata tebal, bergigi nyaris ompong.

Kaki saya mendadak gemetaran saat melangkahkan kaki mendekatinya. Menyentuh lembut  tangannya yang kaku terulur mengajak bersalaman. Mendekati wajah berkerudung yang tersenyum riang menyambutku hangat. Orang ini sungguh memiliki aura positif yang luar biasa kuat.

Pandangan mata saya tiba-tiba mengabur saat memandangi Mbak Hesti. Inilah Mbak Hesti, Kawan. Mbak Hesti yang sering berbagi dengan saya lewat sms atau telepon. Suara renyah dan riang itu miliknya. Pandangan-pandangan kehidupan yang selalu positif itu juga miliknya. Tawa lepas itu juga miliknya. Apa yang ada di hadapan mata saya membuat saya harus membenamkan kesadaran bahwa ia lebih dari apa yang terlihat oleh kedua  mata ini.

Tenyata, apa yang saya bayangkan meleset jauh. Ia lebih hebat dari pesan-pesan positif yang ia sampaikan lewat sms selama ini. Ia jauh lebih tegar dari suara renyah a la penyiar radio yang selalu ia perdengarkan sejauh ini. Dan ia jauh lebih sakit dari yang saya pahami selama ini.

Hari-hari Mbak Hesti nyaris seluruhnya ada di tempat tidur. Makan, minum, sholat, membaca buku, sms, telepon, menulis (sedapat-dapatnya), melihat televisi, dan mengasuh keponakan-keponakan yang dititipkan kepadanya. Untuk sekadar menulis smspun Mbak Hesti harus berjuang keras memijit tuts demi tuts keypad dengan tangannya yang senantiasa terkepal. Berpindah tempat ke kamar mandi pun ia harus dibantu oleh keponakannya, Icha. Maka nikmat manakah yang hendak engkau dustakan, wahai diriku?

***

Wajah Mbak Hesti terlihat bahagia sekali. Ceritanya tak putus-putus tentang masa kecilnya, cita-citanya, teman-temannya, dan semua yang ia rasakan. Ia bertutur tentang kenangannya saat menajdi penyiar radio di Tegal. Ia juga bertutur tentang berbagai wartawan berbagai media yang silih berganti memintanya berkisah tentang sakitnya – dan hikmah sakitnya. Ia juga bertutur tentang berbagai undangan talk show yang membicarakan sakitnya. Juga tentang pensiun dini yang harus diambilnya dengan penuh kesadaran di usia yang belum ada 25 tahun. Tentang keluarga besarnya yang menitipkan anak-anak justru kepadanya padahal ia sudah menyadarkan mereka akan keterbatasannya. Mimpinya menulis buku, mimpinya mengantar Icha menjadi “orang”, dan mimipinya tentang bahagia yang sesungguhnya.

Terselip rasa malu, apakah kunjungan saya  ini terlalu berlebihan hingga ia sebahagia itu? Oleh-oleh yang saya bawapun sangat seadanya. Buku pegangan saya saat sakit. Berjudul “Berbahagialah Wahai Orang Sakit” karya Dr. Muhammad ar Rukban dan Dr. Said bin Ali bin Wahf al Qathani. Terus terang saya sempat bingung dengan apa yang akan saya bawa, namun sekali lagi “pesan” itu datang dengan mengarahkan pandangan mata pada koleksi buku yang menemani hari-hari saya saat sakit.

Jika engkau mengira saya sedang menghibur Mbak Hesti dengan kunjungan saya itu, engkau salah besar, Kawan. Justru sayalah yang sejatinya sedang mereguk banyak kekuatan dari Mbak Hesti.  Berat sekali menyebut sosok tegar berusia 36 tahun yang menolak berbagai bantuan biaya berobat dengan dalih lebih banyak yang lebih berhak daripada dirinya itu sebagai sosok penyandang disabilitas.

Bangga sekali saat ia bertutur selayaknya saya ini sahabat karib yang telah ia kenal benar sejak bertahun-tahun silam. Padahal, sungguh, kami hanya saling rajin bertegur sapa lewat sms, berbagi energi positif, dan baru bertatap muka sekali itu di rumah petak mungilnya di Bekasi. Kunjungan itu seperti sebuah pintu masuk ke sebuah dimensi kekekalan sebuah jalinan persahabatan. Kunjungan untuk selamanya!

Ya, kunjungan itu benar-benar menorehkan kenangan seumur hidup bagi saya – dan mungkin Mbak Hesti juga. Sampai saat ini, kami masih sering bertukar kabar. Saat saya akan menikahpun, ia yang saya beri tahu pertama kalinya. Entah, saya merasakan kelekatan yang unik soal pertemanan dengan Mbak Hesti. Tidak, tidak, saya tidak akan menyebutnya penyandang disabilitas. Mbak Hesti adalah salah satu sahabat sekaligus guru bagi saya. Sebenar-benarnya sahabat, sebenar-benarnya guru.

Hingga hari ini, sudah dua puluh lima tahun Mbak Hesti berkarib dengan berbagai obat-obatan untuk meredakan nyeri sendinya, ngilu giginya, dentaman denyut jantungnya yang tiba-tiba nyaris tak terdeteksi, tekanan darahnya yang rendah, dan segala macam ini itu yang tak sanggup saya membayangkan bagaimana rasanya. Apalagi biayanya. DUA PULUH LIMA TAHUN, Kawan. Bukankah Mbak Hesti adalah sosok yang luar biasa tangguh?

Limpahilah ia dengan doa, Kawan. Agar ia dimudahkan mendapatkan samudera kesabaran dan keikhlasan. Agar setiap untaian doa kebaikan darinya melejit ke Arasy dengan mudah.

Limpahilah ia dengan doa, Kawan. Agar ia selalu menggenggam erat janji Allah. Dia tidak akan pernah membebani hambaNya melebihi kemampuan mereka. Doakan kebaikan untuknya selalu, Kawan.

Teruntuk seorang sahabat hebat: Hesti Nurmawati.

Salatiga, 26 Desember 2012